Kerusuhan Belfast Picu Kekhawatiran Kekerasan Sektarian

Kerusuhan Belfast Picu Kekhawatiran Kekerasan Sektarian
Api berkobar di depan polisi di Jalan Springfield saat protes berlanjut di Belfast, Irlandia Utara, 8 April 2021. (Foto: Reuters)

BorneoTribun.com -- Setelah enam malam kerusuhan di Belfast, kekhawatiran semakin besar kembalinya kekerasan di Irlandia Utara, hampir 23 tahun setelah tercapai Persetujuan Good Friday, yang mengakhiri pembunuhan dan serangan bom selama tiga dekade. 

Pendukung pro-Inggris, marah pada unsur-unsur persetujuan Brexit yang mulai berlaku Januari lalu, dan menurut mereka mengacaukan kedudukan Irlandia Utara di dalam Britania Raya.

Ketegangan beralih ke jalan-jalan. Satu bus dibajak dan dibakar di Belfast, Rabu (7/4), sementara massa remaja melempar batu dan bom Molotov ke arah polisi. 

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson terlihat mengenakan masker pelindung saat berkunjung ke toko DIY di Middlesbrough, Inggris, 1 April 2021. (Foto: Reuters)

Puluhan petugas cedera dan beberapa orang ditangkap. Seorang jurnalis foto dari Belfast Telegraph diserang ketika sedang meliput protes.

Sebagian besar kekerasan terjadi di Shankill Road, Belfast barat, garis depan antara kelompok Protestan dan masyarakat nasional pro-Irlandia yang Katolik. PM Boris Johnson menyerukan agar huru-hara diakhiri.

Kerusuhan Belfast Picu Kekhawatiran Kekerasan Sektarian
Seorang pria berjalan melewati bus yang terbakar di jalan Shankill di Belfast Barat, Irlandia Utara, Kamis, 8 April 2021. (Foto: AP)

“Saya sangat prihatin atas skenario kekerasan di Irlandia Utara, khususnya serangan terhadap polisi, yang melindungi publik dan bisnis, serangan terhadap pengemudi bus, dan serangan terhadap jurnalis. Cara mengatasi perbedaan adalah melalui dialog, bukan kekerasan atau kejahatan,” cuit Johnson, Rabu (7/4).

Pimpinan politik dari pemerintah koalisi di Stormont, Belfast, yang dibentuk sebagai bagian dari Persetujuan Good Friday, mengecam kekerasan itu. 

Menteri Pertama Irlandia Utara Arlene Foster, pemimpin dari Partai Unionis Demokratik, mengatakan, “sebagaimana hal ini salah pada masa lalu dan tidak pernah direstui, sekarang juga salah.”

Deputi Menteri Pertama Michelle O’Neill, pemimpin dari partai nasionalis Sinn Fein, menyerukan dialog. Hanya lewat politik demokratik kita bisa mengatasi masalah dan keprihatinan kita,” katanya kepada para anggota parlemen.

Masalah-masalah ini berakar dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) yang membuat perbatasan antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia sebagai garis depan eksternal Uni Eropa. Semua pihak khawatir, perbatasan dengan infrastruktur yang terkait dan pemeriksaan barang dan kendaraan, akan memicu kembali kekerasan sektarian.

Bagian dari persetujuan Brexit, disebut Protokol Irlandia Utara, menyatakan bahwa semua pemeriksaan barang dari Inggris ke Irlandia Utara harus dilakukan di pelabuhan-pelabuhan pada sisi Laut Irlandia. 

Itu menciptakan perbatasan antara Inggris dan Irlandia Utara, kata analis Katy Hayward, professor ilmu sosiologi politik di Queen’s University, Belfast. 

“Ini menciptakan keresahan, khususnya di kalangan masyarakat pro Inggris, yang merasa bahwa peran mereka dalam Inggris Raya terancam. 

Bagi banyak orang sudah tentu, perbatasan dengan Irlandia Utara bukan sekadar tentang bea cukai dan hal-hal teknis. Secara simbolis ini juga signifikan,” katanya kepada VOA.

Namun 56% rakyat Irlandia Utara memilih tetap bergabung dengan Uni Eropa pada 2016 melalui referendum. Sedangkan Inggris sebagai keseluruhan memilih hengkang dari blok itu.

Sudah banyak ramalan bahwa Brexit akan memperlemah Persetujuan Good Friday. Sebagian Irlandia Utara masih sangat terpecah. Nasionalis Katolik umumnya menginginkan bergabung dengan Republik Irlandia, sedangkan kelompok Protestan ingin tetap menjadi bagian Inggris. [jm/ka]

Oleh: VOA
Tinggalkan Komentar anda Tentang Berita ini