Para pengungsi Tigray yang melarikan diri dari konflik di Etiopia menaiki bus menuju tempat pengungsian sementara dekat perbatasan Sudan-Etiopia di Hamdayet, sebelah timur Sudan, 1 Desember 2020. |
BorneoTribun.com -- Sewaktu tentara dari Eritrea menjarah kota perbatasan Rama di kawasan Tigray, Etiopia, sebuah rumah menjadi apotek bagi warga yang mencari obat-obatan di tengah perang. Mereka menyampaikan rincian pembunuhan di komunitas-komunitas sekitar kawasan itu. Seorang perawat Amerika yang sedang mengunjungi keluarganya di sana mendengarkan hal itu.
Setelah kembali ke rumahnya di Colorado, ia berjuang keras untuk menghitung berapa sesungguhnya yang telah tewas dalam perang saudara itu. “Saya tidak tahu, mungkin seribu?” ujarnya kepada Associated Press.
“Ini hanya di daerah pedalaman, banyak sekali.” Sejak meninggalkan daerah itu ia belum juga berhasil mengontak kedua orang tuanya.
Jika pertempuran ini segera berakhir, ujarnya, “kami tidak akan punya keluarga lagi.”
Pernyataan saksi mata yang sangat jarang mengemuka ini menjelaskan dampak dari konflik di Tigray, yang sebagian besar terputus dari dunia ketika pertempuran di wilayah berpenduduk enam juta orang itu memasuki bulan keempat.
Tentara Eritrea
Pasukan Etiopia dan pejuang sekutunya mengejar mantan pemimpin Tigray yang telah lama mendominasi pemerintah Etiopia dan kini buron. Masing-masing pihak melihat lainnya sebagai penguasa yang tidak sah setelah pemilu presiden ditunda tahun lalu dan Tigray melangsungkan pemilu sendiri.
Tentara dari negara tetangga Eritrea sangat terlibat dalam konflik ini, meskipun Etiopia dan Eritrea menyangkal terlibat. Eritrea sendiri adalah negara tertutup yang merupakan musuh mantan pemimpin Tigray.
Uni Eropa, mengikuti langkah Amerika, minggu ini mendesak Eritrea untuk menarik pasukannya, dengan mengatakan mereka “dikabarkan telah melakukan kekejaman dan memperburuk kekerasan etnis di sana.”
Pelarangan bagi wartawan untuk masuk ke daerah itu dan tidak meratanya komunikasi, menyebabkan masyarakat internasional tidak dapat menyelidiki kekejaman yang terjadi secara langsung dan memverifikasi pernyataan para saksi. Namun, rincian peristiwa yang mereka sampaikan konsisten dengan penjelasan lain yang menggambarkan kehancuran sebagian besar sistem kesehatan dan tidak terjangkaunya daerah-daerah di pedalaman.
Pejabat-pejabat Palang Merah mengingatkan bahwa ribuan orang mungkin akan mati kelaparan.
Hailu Kebede, Kepala Urusan Luar Negeri di Partai Salsay Woyane Tigray yang beroposisi dengan pemerintah mengatakan begitu Tigray dibuka kembali, orang-orang akan terkejut. Ia memperkirakan lebih dari 52 ribu orang telah meninggal.
Ia mengatakan kepada Associated Press, mereka berupaya mengumpulkan data dari para saksi di setiap daerah administrasi di kawasan itu.
“Kami memiliki ribuan nama,” ujar Hailu, yang selama beberapa minggu bersembunyi di pinggiran Mekele, Ibu Kota Tigray, mendengarkan baku tembak dan bombardir senjata. Ia mengatakan seorang anggota keluarganya tewas.
“Ini perang yang paling tidak terdokumentasi,” ujar Hailu. “Dunia akan minta maaf pada rakyat Tigray, tetapi hal itu akan terlalu terlambat.”
Pengungsi Etiopia di Wilayah Qadarif, timur Sudan, November 2020. (Foto: AP) |
Penjarahan dan kekerasan
Perempuan yang meninggalkan Rama untuk kembali ke Amerika itu menggambarkan kesulitan kehidupan di kota itu ketika tentara Etiopia dan Eritrea sama-sama berkuasa. Tentara Eritrea beberapa kali datang ke rumah keluarga saya dan menjarahnya, ujarnya.
Pertama-tama mereka mengambil perhiasan, telepon seluler dan uang. Kemudian mereka mengambil apapun yang dapat ditemukan. “Jika mereka menemukan sendok, mereka juga mengambilnya,” tambahnya.
Sebagian tentara mengakui bahwa mereka berasal dari Eritrea, ujarnya. Mereka berasumsi bahwa setiap orang di Tigray telah mendapat latihan militer seperti yang mereka dapatkan di Eritrea. Sejumlah kelompok HAM menggambarkan Eritrea sebagai negara yang paling represif di dunia.
Selama 2,5 bulan ia bersembunyi di dalam rumah, sebagaimana banyak warga Tigray lainnya, karena khawatir akan diperkosa, ditembak “tanpa alasan,” atau seperti adiknya, dipukuli. Tentara mengatakan mereka mencari “Debretsion” atau pemimpin kawasan yang buron.
Ia dapat menggambarkan kota-kota mana di Tigray yang dijarah dari nama-nama yang tertera di kendaraan, bahkan ambulas, yang melintasi kota Rama dalam perjalanan ke Eritrea, yang terletak hanya tujuh kilometer dari kota itu.
Ia meninggalkan Rama ketika ibunya mengatakan “kamu tidak boleh mati di sini.” Ia berjalan selama 11 jam mengikuti jalur pedalaman ke Kota Adwa, lalu menemukan transportasi ke Mekele. Sejumlah pos keamanan dijaga tentara Etiopia, lainnya dijaga tentara Eritrea.
“Dalam perjalanan kami bisa melihat gedung-gedung yang hancur,” ujarnya. “Kami tidak melihat siapa pun di kota-kota itu, semua sepi.”
Meskipun telah menunjukkan paspor Amerika miliknya, di Mekele ia ditanyai kartu identitas lokal. “Saya merasa, saya tidak tinggal di sini, saya warga negara Amerika,” ujarnya dengan suara lirih. “Saya sangat ketakutan.”
Sebagaimana etnis Tigray yang berupaya meninggalkan Ibu Kota Addis Ababa di Etiopia, ia ditanyai dan khawatir ia tidak diizinkan terbang. Ia tiba di Amerika bulan lalu.
Warga lain yang tiba dari Tigray di Addis Ababa tetapi tidak memiliki paspor negara lain berupaya menyembunyikan latar belakang etnis mereka di tengah banyaknya laporan penangkapan dan pelecehan. [em/ft]
Oleh: VOA