Kuliner peranakan dalam balutan antik

Kuliner peranakan dalam balutan antik
Kuliner peranakan dalam balutan antik. (ANTARA)
Jakarta - Pintu kayu tua besar setinggi tiga meter itu berderit pelan ketika didorong. Tak tok, tak tok suara langkah kaki pada papan kayu tua terdengar bersahutan. Dari balik pintu, ada perempuan berkebaya encim berwarna hitam yang menyapa setiap tamu yang datang.

“Selamat datang di Dapur Babah,” begitu sapaan dari Dian Ekawati dengan senyum hangat.

Ia memegang kunci cerita panjang sebuah rumah makan yang lebih mirip dengan museum.

Di sebuah bangunan yang berdiri sejak zaman kolonial itu ada sejumlah barang  bersejarah koleksi Oie Tiong Ham, seorang pengusaha Hindia Belanda berdarah Tionghoa yang dikenal sebagai Raja Goela dari Semarang.

Di dalamnya, berjejer peralatan makan antik dari keramik porselen yang umumnya berwarna putih yang sebagian retak dimakan usia. Ada juga guci-guci antik, kemudian topi yang biasa digunakan oleh perdana menteri di Tiongkok, hingga pakaian tradisional China lengkap yang konon berasal dari Dinasti Ming.

Ornamen-ornamen itu seakan membawa pengunjung berada di masa sejarah pertama kali peranakan tinggal di Indonesia.

Tapi, saat penulis menyelami lebih dalam restoran tersebut nyatanya ada tiga budaya berkelindan di sini, yang dapat dilihat dari ornamen, makanan, sampai nama-nama menunya.

“Jadi ada tiga culture di sini, Jawa, Belanda, dan China, dari koleksi-koleksi antiknya hingga makanannya. Jadi gak pure Chinese banget,” kata Dian yang bergabung sejak awal Dapur Babah Elite berdiri.

Sebut saja  bitterballen, makanan yang terbuat dari daging sapi yang dicincang dan dibuat ragout, kemudian dibalut dengan tepung roti dan digoreng. Biasanya bitterballen berbentuk bulat-bulat kecil dengan diameter 3 sampai 4 centimeter yang rasanya mirip dengan kroket.

Secara historis, bitterballen dibawa ke Indonesia oleh Belanda selama masa penjajahan dan menjadi salah satu warisan kuliner yang masih digemari hingga kini.

Lalu, ada vricadel van djagoeng atau perkedel jagung yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia.

Bersumber dari buku Rijsttafel yang menceritakan tentang budaya kuliner di Indonesia masa kolonial 1870-1942 karya Fadly Rahman, disebutkan bahwa ketika sudah mulai banyak orang Belanda mengonsumsinya, makanan tersebut semakin menarik perhatian masyarakat lokal.

Namun, penyebutan frikadel agak sulit untuk diucapakan oleh orang-orang pribumi, sehingga pelafalan nama tersebut lama kelamaan menjadi perkedel sebagaimana adaptasi ucapan lokal.

Bila dilihat dari resep aslinya, perkedel buatan pribumi pun berbeda, oleh karena bahan-bahan seperti daging yang tergolong sulit untuk didapatkan lantaran harganya tergolong mahal. Maka, terlintas ide untuk membuat alternatifnya, yaitu dengan menggunakan bahan-bahan hasil lokal yang cenderung mudah didapatkan, seperti kentang, bahkan hingga jagung dengan campuran tepung yang semakin menambah variasi perkedel dalam kuliner Nusantara.

Berbeda dari kebanyakan, perkedel di Dapur Babah Elite dilengkapi dengan saus kecap gurih seperti saus khas tempe mendoan yang semakin menambah kenikmatan dalam setiap gigitan, hingga poffertjes, pancake mini asal Belanda yang memiliki rasa manis dan tekstur lembut.

Akan tetapi, tidak semua menu di restoran yang diresmikan pada 2004 itu mengusung nuansa kolonial. Restoran yang dahulu berada di kawasan elit peninggalan Belanda, yang dikenal dengan Citadel Weg itu, justru menghadirkan menu kuat cita rasa peranakan.

Mulai dari kudapan manis yang biasa disantap untuk jamuan sore seperti Kue Thok dan Onde-Onde Merah Putih yang masing-masing menggunakan bahan tepung ketan dan kacang hijau.

Lalu, ada renyahnya Loempia Semarang yang terbuat dari tumisan rebung, udang, ayam dengan cocolan saus tauco yang gurih, pedas, dan manis.

Juga ada Nasik Tjampoer Babah, sajian nasi yang dihidangkan dengan aneka pugasan yang banyak sekali, seperti empal, ayam bumbu rujak, acar, udang goreng, tahu dan tempe bacem, rempeyek, sambal, dan sayur lodeh. Menu ini menjadi andalan banyak pengunjung yang datang ke Dapur Babah.

Tidak hanya soal makanan yang menurut penulis layak juara, para pengunjung pun merasa terangkat pengalaman makannya di sini.

“Keren sih, all out banget ya dalam membangun bisnis restoran seperti ini, karena menghadirkan koleksi antik saya rasa tidak semudah itu,” kata Wiwi Fatma usai menikmati hidangan di Dapur Babah Elite.

Pantas saja pengunjung banyak yang membicarakan restoran ini. Oleh sebab, di lorong sebelah kiri pintu masuk, pengunjung dapat melihat patung Ganesha yang dalam agama Hindu dipuja sebagai dewa pengetahuan, kebijaksanaan, penghalang rintangan, dan pelindung, serta ada Patung Mahasthavira yang dikenal sebagai biksu suci dari India yang membawa agama Jainisme atau agama India kuno. Patung tersebut dibawa oleh Oei Tiong Ham saat sedang perjalanan bisnis ke Negeri Tibet.

Restoran yang berada di Jalan Veteran 1 nomor 18, Jakarta, ini juga didekorasi dengan foto-foto hitam putih yang merupakan foto-foto para nyai (istri keluarga Babah), selir dan anggota keluarga Babah.

“Spot yang paling aku suka di ruang VOC, karena ada pedang VOC dari abad ke-17 dan di dekat pintu masuk yang ternyata banyak benda yang pernah ada di Dinasti Ming,” kata Shinta saat berkunjung.

Dari dekorasi hingga menu, semua mengakar pada sejarah budaya Babah.

Istilah “Babah” di Jawa umumnya digunakan untuk menyebut budaya campuran yang lahir dari pernikahan antara pendatang Tionghoa dan perempuan pribumi Jawa. Termasuk tradisi kuliner di Dapur Babah yang menghadirkan masakan hasil eksperimen para istri Babah (dikenal sebagai Nyonya) dan para juru masak rumah tangga serta pembantu (disebut Bedeinden) yang memasak tanpa resep tertulis.

Di restoran klasik itu juga terdapat tradisi minum teh ala Belanda yang disebut High Tea. Di balik secangkir teh di Dapur Babah Elite, ternyata ada cerita bersejarah yang sangat menarik. Konon, tradisi ini terinspirasi dari kisah tragis seorang selir kaisar bernama Chen YuanYuan di Tiongkok.

Karena skandal cinta, dia diasingkan dari istana. Tapi sebelum pergi, ia diberi jamuan teh terakhir sebagai bentuk penghormatan.

Namun, lain cerita yang terdapat di Dapur Babah Elite. High Tea Di gedung kolonial 1940-an itu ternyata inspirasinya datang dari sosok pemimpin redaksi perempuan pertama pers Peranakan di Hindia Belanda yang merawat budaya dan menyajikan cerita lewat secangkir teh.

Di restoran ini, setiap teh yang dituang seakan merefleksikan hangatnya nuansa tempo dulu melalui teko keramik antik yang merupakan barang asli dari keluarga Babah di Jawa.

Tehnya beragam, mulai dari peppermint yang segar, sereh yang menenangkan, sampai pandan yang harum dan lembut.

Tidak hanya minum teh, saat ini tradisi yang biasa untuk menemani kegiatan bincang-bincang sore itu juga bisa diganti dengan kopi. Mulai dari kopi rasa klepon, rasa cincau, hingga rasa butterscotch sebagai variasi rasa kombinasi kopi single origin dari perkebunan Kawisari.

“Konon di China, jamuan High Tea ini adalah perjamuan untuk tamu istimewa. Kita ingin semua masyarakat menikmati itu, maka kami hadirkan di restoran ini,” kata Diah kepada ANTARA.

Tradisi ini juga berpadu dengan romantisme budaya dalam kesederhanaan yang dibuat khusus untuk menghidupkan kembali setiap aspek historis di tempat ini.

Konon, beberapa Bedienden yang bekerja untuk keluarga babah menganut ajaran Khong Hu Tju dan Taoisme atau kepercayaan yang menganut prinsip keseimbangan antara Yin dan Yang. Di saat yang bersamaan para Bedeinden itu tetap memegang teguh kepercayaan spiritual tradisional. Hal ini dibuktikan dari kehadiran patung Dewa Dapur di bagian teras belakang.

Patung Dewa Dapur yang disebut Zao Jun atau Zao Shen itu bagi keluarga Tionghoa menjadi dewa terpenting. Kehadiran dan kepercayaan dewa ini memberi rasa percaya diri yang besar, yang diyakini bisa memberikan rasa lezat pada hidangan. Itulah mengapa patung Dewa Dapur ini ditempatkan dekat tungku masak yang harapannya bisa menjaga para juru masak Babah saat memasak.

Di area yang didekorasi berupa teras semi-terbuka itu juga terdapat lampion kaca Tionghoa tua hingga peralatan dapur antik khas Babah.

Di sudut lainnya terdapat patung Dewi Kwan Im. Ruangan VIP ini sengaja didekorasi serba warna merah yang melambangkan keberuntungan, kebahagiaan, dan kemakmuran. Simbol filosofis tersebut seakan sempurna bila digabungkan dengan kehadiran Dewi penyayang agar semua pengunjung yang menikmati hidangan di tempat itu selalu diberkati dan berlimpah rezeki.

“Pendiri juga menghadirkan Burung Hong di sudut-sudut tertentu yang menjadi kendaraan bagi para dewa-dewi yang turun ke bumi untuk memberi berkah,” cerita Diah kepada ANTARA.

Koleksi-koleksinya itu kini dipelihara oleh Anhar Setjadibrata pendiri Tugu Group yang mulai mengoleksi barang antik Indonesia sejak tahun 1970-an. Ia berusaha menghadirkan pengalaman mendalam tentang sejarah dan kekayaan budaya Indonesia melalui koleksi barang antik, dekorasi, dan suasana yang dihadirkan.

“Semua barang antik di sini kami rawat betul-betul selama beberapa kali dalam seminggu agar tidak usang dimakan usia,” kata Diah.

Oleh Nabila Anisya Charisty/ANTARA
Tinggalkan Komentar anda Tentang Berita ini